Senin, 12 Desember 2016

Cara (Parenting) Sederhana Tapi Luar Biasa Manfaatnya agar Anak Tidak Manja & Cengeng


Bagaimana agar anak tidak menjadi manja dan cengeng?

Sebelum lebih lanjut membaca bagaimana mendidik anak kita agar tidak manja dan cengeng. Bahwa tulisan ini diadaptasi dari Bunda Elly Risman Musa. Siapakah beliau, berikut sedikit kutipan profilnya.

Dikutip dari merdeka.com, Elly Risman Musa adalah seorang psikolog perempuan yang fokus pada parenting dan pendidikan anak. Psikolog berjilbab ini dulunya menempuh pendidikan sarjananya di Universitas Indonesia di Fakultas Psikologi. Setelah lulus pada tahun 1979, dua tahun kemudian Elly Risman Musa memulai karirnya dengan bekerja di sebuah perusahaan bernama PT Surindo.

Di sana, beliau menjabat sebagai Direktur Operasi. Dalam karirnya yang satu ini, ilmu psikologinya tidak teraplikasi. Meskipun demikian, beliau berusaha mengaplikasikan ilmu psikologi dan pendidikan anak yang dimiliki dengan cara mendirikan taman kanak-kanak dan pondok pesantren. Karirnya sebagai Direktur Operasi PT Surindo bertahan selama lima belas tahun.

Selain menempuh pendidikan formal di Universitas Indonesia, Elly Risman Musa juga sempat mendalami kelas parenting di Florida State University Talahase. Kunjungannya ke Amerika pada saat itu sebenarnya untuk menemani suaminya yang sedang mengambil program PhD.

Nah, sekilas itu Bunda Elly Risman, jadi mari perhatikan baik-baik saran dari beliau.


Simple saja bagi anda orangtua, Anda pernah mencoba membetulkan keran sendiri? Pasang bohlam sendiri? Ganti ban motor atau mobil yang bocor di jalan? Ngelem sesuatu yang sudah terlanjur patah? Membuka botol kaca yang sangat susah dibuka?

Atau, seringkah Anda memasak sambil menggendong anak bahkan di sambi lagi dengan naro pakaian kotor ke mesin cuci? Nyetrika sambil bicara dengan mertua di telfon sedangkan kaki menggoyang-goyangkan bouncer agar bayi tidak bangun dan nangis tanpa henti?

Hidup ini penuh masalah, cobaan, kesulitan, tantangan dan pekerjaan susah yang kadang mau nggak mau harus kita kerjakan.

* * *

Di Indonesia enak. Tukang ledeng terjangkau, pembantu ada, supir banyak yang punya. Yang pernah (atau masih) tinggal di negara maju tau betul bahwa pelayan dan pelayanan itu diluar jangkauan dompet kita pada umumnya. Lha yang bekerja aja belum tentu bisa membayar mereka, apalagi yang keluar negrinya untuk ngejar S3.

Kita gak tau anak kita terlempar di bagian bumi Allah yang mana nanti. Oleh sebab itu, izinkan dia untuk belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Jangan memainkan semua peran, ya jadi ibu, ya jadi koki, ya jadi tukang cuci. Ya jadi ayah, ya jadi tukang ledeng, ya jadi pengemudi.

Anda bukan anggota tim SAR, anak anda tidak dalam keadaan bahaya. Berhentilah memberikan bantuan bahkan ketika sinyal S.O.S nya tidak ada. Jangan mencoba untuk membantu dan memperbaiki semuanya.

Anak ngeluh sedikit karena puzzle nggak bisa nyambung jadi satu, “Sini… ayah bantu”.
Botol minum susah untuk ditutup rapat, “Sini.. mama saja”.
Tali sepatu lama ngiketnya, padahal sekolah sudah hampir telat, “Biar ayah aja deh yang kerjain”.
Kecipratan minyak sedikit, “Udah sini, kentangnya mama aja yang gorengin”.

Kalau begitu terus, kapan anaknya bisa? Jangankan di luar negri, di Indonesia saja pembantu sudah semakin langka. Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana, apa yang terjadi ketika bencana benar-benar tiba?

Baca Juga: Jadi Istri Itu Susah! Hey, Jangan Kira Jadi Suami Mudah!

Berikan anak-anak kesempatan untuk menemukan solusi mereka sendiri. Kemampuan menangani stress, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi itu ketrampilan yang wajib dia miliki. Yang namanya ketrampilan, untuk bisa terampil, ya harus dilatih. Kalau tanpa latihan, terus diharapkan simsalabim mereka jadi bisa sendiri? O-EM-JI!

Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun ke depan.

Bukan saja bisa membuat seseorang lulus sekolah tinggi, tapi juga lulus melewati ujian badai-badai pernikahan.

Tampaknya sepele sekarang, secara apa salahnya sih kita bantu? Tapi jika anda segera bergegas menyelamatkannya dari segala kesulitannya, dia akan menjadi ringkih dan mudah layu.

Susah sedikit, bantuan diminta.
Berantem sedikit ya sudah lah, cerai saja.
Sakit sedikit ngeluhnya warbyasa.
Kena masalah sedikit, bisa jadi gila.

* * *

Kalau anda menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan uang untuk perkembangan IQ-nya, habiskan hal yang sama untuk AQ-nya juga.

AQ? Apa itu? Adversity Quotient.

Adversity Quotient menurut Paul G. Stoltz, adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. Bukankah kecerdasan ini yang lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?

Bukankah itu yang di miliki Nabi Nuh hingga tidak menyerah dalam dakwah beratus tahun lamanya?
Atau nabi Yusuf yang mengalami banyak cobaan dalam hidupnya?
Dan nabi Ayyub yang terkenal karena kesabarannya menghadapi masalah?
Dan nabi Muhammad ketika ujian-ujian menimpa?

Perasaan mampu melewati ujian juga luar biasa nikmatnya, merasa bisa menyelesaikan masalah mulai dari yang sederhana sampai yang susah, membuat diri semakin percaya bahwa : minta tolong hanya dilakukan ketika kita benar-benar tidak lagi bisa. Setelah di coba berkali-kali, berulang-ulang, tidak menyerah dalam waktu yang lama.

So, izinkan anak anda melewati kesusahan. Gak papa sedikit luka, sedikit nangis, sedikit kecewa, sedikit telat dan sedikit kehujanan.

Akui kesulitan yang sedang dia hadapi, tahan lidah, tangan, dan hati dari memberikan bantuan, ajari anak kita menangani frustrasi.

Kalau anda selalu jadi ibu peri, apa yang terjadi jika anda tidak bernafas lagi esok hari? Bisa-bisa anak anda ikut mati. Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit, dan sedih. Apalagi dengan menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi. Sehingga, melatih AQ ini akan menjadi ujian bagi Anda sebagai orang tua.

Tapi hidup penuh dengan ketidakenakan.
Dan mereka harus bisa bertahan.
Melewati hujan, badai, dan kesulitan,
yang kadang tidak selalu bisa kita hindarkan.

“Permata hanyalah arang… yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik.”

Back To Top