Bosan makan yang berat berat dan penuh dengan Karbo...?
Kenapa disebut selat solo? Katanya sih selat itu salah satu makanan khas dari kota Solo. Dahulu selat solo sering disebut dengan bestik jawa atau selat bestik. Rasanya kuahnya yang segar membuat selat solo disukai banyak orang. Dengan isi sayuran kentang, wortel, buncis, daun selada, acar dan tomat menjadikannya tambah segar. Ditambah lagi telor (bisa dimasak kecap atau dikukus biasa) dan daging yang dibentuk menjadi galantin menambah selera makan setiap orang.
250 gram daging ayam giling
1 butir telur
50 gram tepung panir
merica
garam
bawang putih
minyak untuk menggoreng
Bahan Isian:
telur, kukus dengan menggunakan cetakan
100 gram kentang, potong sesuai selera
100 gram wortel, potong sesuai selera
100 gram buncis, potong sesuai selera
daun selada
tomat
timun
cuka
Bahan Kuah:
1 siung bawang bombay yang kecil
4 butir bawang putih, geprek
merica
garam
gula
cengkeh
pala
kecap
1. Pertama kita buat galantin terlebih dahulu. Campurkan semua bahan hingga tercampur rata, bulat-bulatkan sesuai selera, kemudian goreng. Angkat, sisihkan.
2. Kedua kita buat kuahnya. Rebus air dulu secukupnya.
3. Tumis bawang bombay dan bawang putih hingga layu. Angkat dan masukkan ke dalam rebusan air.
4. Tambahkan bumbu-bumbu yang sudah dipersiapkan, tunggu hingga mendidih. Masukkan galantin ke dalam kuah selat. Rebus kembali hingga benar-benar matang. Angkat.
5. Selama menunggu kuahnya matang kita bisa mencicil merebus sayuran dan mengukus telur.
6. Setelah semua sudah siap, tata di atas piring dan sajikan.
Saat membaca resepnya sekilas cara membuatnya rumit, tetapi sebenarnya tidaklah serumit yang dibayangkan. Intinya hanya membuat galantin, kuah dan merebus sayuran. Memang bahan-bahan yang digunakan cukup banyak tapi proses memasaknya sangat sederhana. Menurut saya lebih mudah membuat galantin ini dari pada memasak sayur-sayur jawa yang menggunakan santan. Belum lagi harus memikirkan lauk pelengkapnya ada. Malah semakin repot. Tapi itu semua tergantung kita yang menjalani. Hehehe..
Oleh : Debora Dwi