Islam menghendaki setiap keluarga muslim menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam rangka mencapai tujuan mulia itu, Islam mengatur keluarga dengan tatanan yang sesuai fitrah manusia. Suami menjadi pemimpin dalam keluarga yang harus ditaati oleh istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri)…” (QS. An Nisa’ : 34)
Begitu besarnya hak seorang suami untuk ditaati istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya boleh aku menyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang wanita bersujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi; shahih)
Demikianlah Islam mengatur; sebagaimana suami dituntut untuk menafkahi dan mengasihi istrinya, istri dituntut untuk mencintai dan mentaati suaminya, tidak boleh membangkang.
Seorang muslimah yang baik tentu memahami tuntunan ini dan tidak akan membangkang pada suaminya. Namun, ada sejumlah sikap membangkang terhadap suami yang seringkali tidak disadari istri dan akhirnya hal itu dilakukan. Kita akan membahas lima di antaranya, berharap semoga sikap ini bisa dihindari.
1. Menolak ‘ajakan’ suami tanpa udzur syar’i
Tidak sedikit istri yang menolak ajakan suaminya untuk berjima’ dengan alasan-alasan yang sebenarnya tidak syar’i. Misalnya ia sebenarnya tidak lelah tapi beralasan lelah, dan itu pun disebabkan oleh aktifitas yang kurang bermanfaat. Misalnya setelah jalan-jalan belanja bersama teman-teman. Belanjanya tidak banyak dan tidak penting, tetapi jalan-jalannya yang lama sehingga akhirnya terasa agak lelah. Sampai di rumah ia langsung istirahat dan tidak menghiraukan ajakan suami.
Jika sekali dalam setahun, mungkin hal itu bisa dimaklumi. Tetapi jika dilakukan berulang-ulang, tentu menjadi sikap membangkang.
Padahal sekali saja seorang istri tidak memenuhi ajakan suaminya tanpa udzur syar’i, ia dilaknat malaikat sampai pagi.
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjang lantas istri tersebut enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pergi tanpa ijin suami
Di zaman sekarang, seringkali seorang istri keluar rumah tanpa sepengetahuan dan seijin suaminya. Misalnya saat suaminya kerja, ia keluar bersama teman-temannya untuk sekedar bersenang-senang tanpa meminta ijin kepada suaminya, bahkan memberitahu pun tidak. Apalagi jika ia keluar bersama dengan teman-teman wanita dan pria yang di dalamnya terjadi ikhtilath, campur baur laki-laki dan perempuan. Misalnya duduk di mobil bersebelahan dengan teman pria.
Kadang tidak disadari bahwa hal tersebut adalah sikap membangkang terhadap suami. Mengapa? Sebab jika suaminya tahu, ia tidak ridha dengan apa yang dilakukan oleh istrinya.
Rasulullah memberikan tuntunan, seorang istri hendaknya meminta ijin kepada suaminya jika keluar rumah. Meskipun tidak selalu hal-hal kecil juga minta ijin satu per satu, namun hal-hal yang tidak biasa hendaklah minta ijin pada suami. Kalau sekedar pergi ke depan rumah belanja sayur dan suami sudah memberikan ijin secara umum, tentu tidak harus setiap pergi ke depan rumah menelepon suaminya untuk meminta ijin.
و لا تخرج و هو كاره
“Dan janganlah keluar rumah tanpa ijin suaminya” (HR. Hakim)
3. Banyak mengeluh dan kurang bersyukur
Banyak mengeluh atas kondisi keluarga dan kurang bersyukur terhadap pemberian suami merupakan salah satu bentuk sikap membangkang yang seringkali tidak disadari oleh istri. Hanya punya sepeda pancal, mengeluh. Suami mendapatkan rezeki dan bisa beli motor masih juga mengeluh, inginnya punya mobil.
Umumnya, mengeluh dan kurang bersyukur ini diikuti dengan melupakan kebaikan suami. Meskipun suami sudah bersungguh-sungguh memeras keringat dan membanting tulang, mencurahkan waktu serta kasih sayang, kebaikan-kebaikan itu mudah dilupakan begitu saja saat suaminya berbuat kesalahan.
Sikap ini pula yang membuat banyak wanita masuk neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
رَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari itu. Aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Ditanyakan kepada beliau, “Mengapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya lagi, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Membuat suaminya sedih
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, Rasulullah mengingatkan para istri untuk tidak membuat hati suaminya sedih.
و لا تخشن بصدره
“Dan janganlah membuat hatinya sedih” (HR. Hakim)
Bentuknya sangat luas. Misalnya istri yang terlalu banyak menuntut, istri yang memaksa jika meminta sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan atau bisa ditunda, hingga sikap meremehkan suami atau bahkan merendahkannya.
5. Membelanjakan nafkah untuk hal yang tidak disukai suami
Kewajiban suami adalah memberikan nafkah kepada istri. Terkait nafkah ini, istri perlu mengelola sebaik-baiknya untuk kebaikan keluarga, terutama jika ekonomi suaminya dalam kondisi ‘terbatas’. Yang paling utama adalah kebutuhan primernya terpenuhi; untuk makanan bagi keluarga, membeli pakaian yang diperlukan, operasional rumah tangga, dan pendidikan anak. Istri boleh menyisihkan sebagian nafkah dari suaminya untuk sedekah dan sejenisnya dengan catatan jika tanpa sepengetahuan suaminya, maka separuh pahalanya untuk sang suami.
وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
“Setiap infak yang ia keluarkan tanpa ijin suaminya, maka separuh pahalanya diberikan kepada sang suami” (HR. Bukhari)
Istri tidak boleh menggunakan nafkah pemberian suaminya untuk hal-hal yang tidak disukai suaminya. Misalnya digunakan untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan, atau sekedar dihabiskan untuk bersenang-senang dengan teman, sementara hal-hal yang lebih prioritas malah tidak teranggarkan.
Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Bersamadakwah]